Minggu, 22 Agustus 2010

Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga adalah kerajaan bercorak Budha. Pusat pemerintahan diperkirakan di wilayah Kabupaten Jepara saat ini.
Kerajaan ini berada di wilayah Jawa Tengah bagian utara (sekarang Jepara). Dalam berita Cina kerajaan ini disebiut Holing. Di sana dijelaskan bahwa pada abad ke 7 di Jawa Tengah bagian utara sudah berdiri satu kerajaan. Rakyat dari kerajaan tersebut hidupnya makmur dari hasil bercocok tanam serta mempunyai sumber air asin. Hidup mereka tenteram, karena tidak ada kejahatan dan kebohongan. Ilmu perbintangan sudah dikenal dan dimanfaat dalam bercocok tanam.


Kerajaan Kalingga memiliki pertalian dengan Kerajaan Galuh. Putri dari Ratu Shima yang dikenal sebagai Putri Parwati menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang dikenal sebagai Mandiminyak – kemudian menjadi raja kedua di Kerajaan Galuh.
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram. Ia kemudian menjadi pemuka dari sebuah dinasti atau wangsa terkenal sebagai Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno (Hindu).
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Raja Sanjaya juga menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara. Ia memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran .
Kerajaan Kalingga atau disebut juga Kerajaan Ho-ling diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Kalingga telah ada pada abad ke-7 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M – 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut.
• Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah timurnya terletak Pulau Bali dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.
• Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
• Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
• Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa
• Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Silsilah Kerajaan
Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Sima (Simo) yang dikenal sebagai raja yang patuh menjalankan hukum kerajaan; bahkan diceritakan, barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.
Disebutkan bahwa ratu ini seorang pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana, serta melaksanakan hukum dengan tegas. Ketegasannya dalam menerapkan keadilan ditampilkan dengan cara menguji kejujuran rakyat Kanjuruhan. Diceritakan, ada seorang utusan yang datang dari Arab dan menaburkan uang di tengah jalan. Selama hampir tiga tahun tidak ada yang berani mengambil uang tersebut. Suatu hari putra mahkota menyentuh uang tersebut dengan kakinya. Mendengar berita tersebut Ratu sangat marah dan memerintahkan agar putra mahkota dipenggal lehernya. Hukuman penggal leher akhirnya dibatalkan setelah ada permohonan dari para pembesar kerajaan. Menurut para pembesar kerajaan yang menyentuh uang tersebut adalah kakinya, oleh karena itu yang dipotong bukan bukan leher melainkan kakinya. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa raja dan rakyat Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang dipakai sebagai pedoman hidup bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan terhadap hukum, kerajaan Kalingga mendapatkan ketentraman dan kemakmuran.
Putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri, empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada di daerah-daerah.
Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.
Perutusan ke Negeri Cina
Selanjutnya kronik Dinasti Tang menyebutkan bahwa Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan ke negeri Cina pada 647 sampai 666. Kemudian kerajaan ini mengirim utusan lagi pada 818 dan sesudah itu diberitakan tidak pernah mengirim utusan lagi ke Cina. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke Cinta diperkirakan merupakan sebuah bentuk diplomasi antardua kerajaan. Seperti diketahui bahwa pada abad ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti Cina senantiasa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Pengiriman duta Ho-ling ke Cina menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara sudah mampu mengarungi samudra dan laut lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya harus dibekali oleh kemampuan lainnya seperti ilmu pembuatan kapal, ilmu perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain. Hal ini menjadi bekal kuat bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin aktivitas ekonomi dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau kerajaan lain di seberang laut.
Pendeta Buddha Jnanabhadra
Rakyat Holing menganut agama Budha. Hal itu dapat diketahui dari berita Cina yang ditulis I-Tshing, yang menjelaskan bahwa pada tahun 644 masehi Hwi-Ning seorang pendeta budha dari cina datang ke Holing dan menetap selama 3 tahun. Hwi-Ning menterjemahkan salah satu kitab suci agama Budha Hinayana yang berbahasa Sanksekerta ke dalam bahasa Cina. Dalam usahanya Hwi-Ning dibantu oleh seorang pendeta kerajaan Holing yang bernama Janabadra.
Berita dari seorang pendeta Buddha dari Cina bernama I-Tsing menyatakan bahwa pada 664 seorang bernama Hwi-ning datang ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu selama tiga tahun (664-667). Dengan bantuan seorang pendeta Ho-ling yang bernama Yoh-na-po-t’o-lo (kemungkinnan besar pelafalan Cina untuk Jnanabhadra) ia menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana. Nama Jnanabhadra sendiri berasal dari sebuah prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Isi prasasti adalah pujian kepada mata air yang keluar dari gunung yang menjadikan sebuah sungai bagaikan Sungai Gangga. Di atas tulisan prasasti tersebut dipahatkan gambar leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma. Benda-benda ini jelas merupakan sembahan penganut Siwa. Berikut terjelamahan prasasti tersebut:
Mata air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti sungai Gangga.
Catatan I-Tsing
Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agamaBuddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.

Kehidupan Masyarakat
Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa daerah yang disebut Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman dari air bunga kelapa (mungkin tuak). Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan menggunakan tangan.
Keberadaan kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Sima digambarkan sebagai pemimpin yang “keras” demi menjalankan hukum kerajaan. Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja berupa rumah tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa paterana gading.
Kehidupan Politik

Berdasarkan berita Cina disebutkan bahwa Kerajaan Holing diperintah oleh seorang raja putri yang bernama Ratu Sima. Pemerintahannya berlangsung dari sekitar tahun 674 masehi. Pemerintahan Ratu Sima sangat keras, namun adil dan bijaksana. Kepada setiap pelanggar, selalu diberikan sangsi tegas. Rakyat tunduk dan taat terhadap segala perintah Ratu Sima. Bahkan tidak seorang pun rakyat atau pejabat kerajaan yang berani melanggar segala perintahnya.
Suatu saat seorang saudagar Arab berkeinginan untuk membuktikan ketaatan rakyat Ho-ling terhadap hukum yang diterapkan. Ia meletakkan pundi-pundi uang di jalan di tengah kota. Ternyata tak ada seorangpun menyentuh atau mengambilnya. Hingga suatu hari secara tidak sengaja kaki Putra Mahkota menyentuh pundi-pundi itu. Maka Ratu Sima memerintahkan agar anaknya di potong kakinya sebagai hukuman. Karena hukuman itu dirasa terlalu berat, para penasehat Ratu memohon agar hukuman diperingan, namun Ratu berkeras. Setelah didesak, Ratu Sima memutuskan untuk memperingan hukumannya. Kaki putra mahkota tidak jadi dipotong tetapi hanya jari-jari kakinya saja.

Kehidupan Sosial

Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Holing sudah teratur rapi. Hal ini disebabkan karena sistem pemerintahan yang keras dari Ratu Sima. Di samping ini juga sangat adil dan bijaksana dalam memutuskan suatu masalah. Rakyat sangat menghormati dan mentaati segala keputusan Ratu Sima.


Kehidupan Ekonomi

Kehidupan perekonomian masyarakat Kerajaan Holing berkembang pesat. Masyarakat Kerajaan Holing telah mengenal hubungan perdagangan. Mereka menjalin hubungan perdagangan pada suatu tempat yang disebut dengan pasar. Pada pasar itu, mereka mengadakan hubungan perdagangan dengan teratur. kegiatan ekonomi masyarakat lainnya diantaranya bercocok tanam,menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading.di Holing ada sumber air asin yang dimanfaatkan untuk membuat garam. Hidup rakyat Holing tenteram, karena tidak ada kejahatan dan kebohongan. Berkat kondisi itu rakyat Ho-ling sangat memperhatikan pendidikan.Buktinya rakyat Ho-ling sudah mengenal tulisan,selain tulisan masyarakat Ho-ling juga telah mengenal Ilmu perbintangan dan dimanfaat dalam bercocok tanam.
Prasasti
Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.

Read More..

Sabtu, 08 Mei 2010

Kapak Persegi

Peningkatan tarap hidup manusia dalam hal memenuhi kebutuhan hidup selalu bersamaan dengan berkembangnya kemampuan dalam membuat alat-alat yang lebih maju. Peningkatan kemampaun dalam membuat peralatan ini terlihat dari hasil yang ditemukan pada masa bercocok tanam, ternyata lebih maju bila dibanding dengan masa berburu. Masa bercocok tanam di Indonesia dimulai kira-kira bersamaan dengan berkembangnya kemahiran mengupam alat-alat batu serta dikenalnya pembuatan gerabah. Tradisi mengupam alat-alat batu telah dikenal luas di kalangan penduduk kepuauan Indonesia. Bukti-bukti peninggalan memperlihatkan tingkat kronologis serta hubungannya dengan daratan Asia Tenggara dan Asia Timur.
Alat-alat yang pada umumnya diasah (diupam) adalah kapak dan kapak batu, yang di beberapa tempat pengupaman juga dilakukan pada mata panah dan mata tombak. Kapak dan kapak batu ditemukan tersebar di seluruh kepulauan dan sering kali dianggap sebagai petunjuk umum tentang masa bercocok tanam di Indonesia.



Penemuan di luar Indonesia
Di luar Indonesia alat semacam ini ditemukan juga di Malaysia, Thailand, Vietnam, Khmer, Cina, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Polinesia. Pada umumnya kapak persegi berbentuk memanjang dengan penampang lintang persegi. Seluruh bagiannya diupam halus-halus, kecuali pada bagian pangkalnya sebagai tempat ikatan tangkai. Tajamannya dibuat dengan mengasah bagian ujung permukaan, bagian bawah landai ke arah pinggir ujung permukaan atas. Dengan cara demikian diperoleh bentuk tajaman yang miring seperti terlihat pada tajaman pahat buatan masa kini. Ukuran dan bentuknya bermacam-macam, bergantung pada penggunaannya. Yang terkecil ialah semacam pahat yang berukuran panjang kira-kira 4 cm dan terpanjang kira-kira 25 cm dipergunakan untuk mengerjakan kayu.


Di Indonesia

Nama kapak persegi itu berasal dari Von Heine Goldern, berdasarkan kepada penampang-alang dari alat-alatnya, yang berupa persegi panjang atau juga berbentuk trapezium. Yang dimaksud dengan kapak persegi itu bukan hanya kapak persegi saja, tetapi banyak lagi alat-alat lainnya dari berbagai ukuran dan berbagai keperluan; yang besar yaitu kapak atau pacul, dan yang kecil yaitu tarah, yang tentunya digunakan untuk mengerjakan kayu. Alat-alat itu semuanya sama bentuknya, agak melengkung sedikit, dan diberi tangkai yang diikat kepada tempat lengkung itu.

Kapak persegi di Indonesia ini terutama ditemukan di wilayah Sumatra, Jawa, Bali, Nusan Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi dan di Kalimantan. Bahan yang digunakan untuk membuat kapak persegi kebanyakan menggunakan batu api dan batu Kalcedon. Pembuatan kapak-kapak ini diperkirakan terpusat di beberapa tempat, dari dari sini menyebar ke tempat-tempat lain. Hal ini berdasarkan pada tempat penemuan kapak persegi di beberapa tempat yang tidak memiliki bahan batu api, yang digunakan sebagai bahan pembuatannya, sedangkan di pusat pembuatannya banyak sekali ditemukan kapak persegi yang semunya telah diberi bentuk namun masih kasar atau belum dihaluskan. Hal ini menandakan kalau kapak persegi dihaluskan oleh pemakainya bukan pembuatnya. Adapun perkiraan pusat-pusat dari pembuatan kapak persegi antara lain di dekat Lahat (Palembang), dekat Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya (Jawa Barat), di daerah Pacitan (Madiun) dan lereng selatan Gunung Ijen (Jawa Timur). Di desa Pasirkuda dekat Bogor bahkan ditemukan sebagai batu asahan.

Tempat Situs Penelitian
Perhatian terhadap kapak dan kapak terupam halus di Indonesia mulai diberikan sekitar tahun 1850 oleh beberapa ahli dari Eropa. Waktu itu, bahan studi hanya berasal dari temuan lepas yang kurang jelas umur atau asalnya. Pengumpulannya diusahakan oleh sebuah perkumpulan swasta (antara 1800-1850) yang bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetwnschappen. Koleksi perkumpulan ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Hal tersebut sebenarnya diilhami oleh karangan terkenal G.E. Rumphius yang terbit pada tahun 1705 di Amsterdam, berjudul D Amboinsche Rariteitenkamer. Dalam buku tersebut terdapat bagian yang membicarakan alat-alat batu yang disangka buatan alam. Pendapat ini sama dengan anggapan orang kebanyakan pada waktu itu, dan juga sekarang di antara kalangan penduduk, yang menganggap kapak batu sebagai gigi kilat atau gigi guntur.

Setelah tulisan Rumphius itu, perhatian terhadap benda-benda prasejarah itu lenyap lagi. Berselang kira-kira satu setengah abad lamanya, barulah muncul beberapa pendapat dari C. Swaying dan W. Vrolik (1850), serta C. Leemans (1852). Buku karangan Leemans itu merupakan karya pertama yang menyajikan pemaparan yang baik terhadap alat-alat batu prasejarah di Indonesia. Pada waktu itu ia menjabat sebagai direktur museum barang kuno di Leiden. Karyanya didasarkan atas koleksi benda-benda prasejarah yang dikirimkan dari Indonesia oleh rekannya, Swaying. Hal seperti itu dilakukan juga oleh J.J. van Limburg Brouwer yang hasilnya terbit pada tahun 1872. Lima belas tahun berikutnya (1887), terbit karya C.M. Pleyte yang pada dasamya memberikan ikhtisar tentang zaman batu, terutama tentang kapak persegi dan kapak lonjong di Indonesia dan merintis pemikiran ke arah pelaksanaan klasifikasi dan distribusi jenis benda tersebut. Dasar-dasar pemikiran inilah rupa-rupanya mengilhami karya dua orang sarjana kenamaan P.V. van Stein Callen-fels dan It von Heine Geldern dalam pembahasannya tentang distribusi dan kronologi kapak dan kapak lonjong di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1920-an. Sangat disayangkan bahwa usaha-usaha yang berharga dari Pleyte dan para peneliti sebelumnya itu hanya didasarkan pada sumber-sumber yang diperoleh tanpa melakukan penggalian arkeologis, tapi lebih mengandalkan pada temuan-temuan yang nampak di atas permukaan tanah. Selanjutnya, berkembanglah penelitian-penelitian berupa penggalian-penggalian yang intensif berkat jasa Stein Callenfels.

Stein Callenfels mencoba menyusun kronologi alat-alat batu dari masa bercocok tanam, terutama atas dasar tipe-tipe kapak dan kapak persegi. Atas dasar tersebut tercapailah empat tingkat perkembangan. Tiap-tiap tingkat diwakili oleh bentuk-bentuk tertentu. Tingkat yang paling tua mempunyai bentuk yang paling sederhana dan tingkat-tingkat selanjutnya menunjukkan perkembangan yang lebih maju. Tingkat yang paling akhir, menurut pendapatnya, dibawa oleh orang-orang yang menggunakan bahasa Indonesia. Pendapat seperti ini, terutama pendekatan atas dasar tipologi, pada tingkat penelitian dewasa, kurang meyakinkan karena tidak disertai dengan kelengkapan data statigrafi.

Pengetahuan kita tentang masa bercocok tanam di Indonesia sebenarnya sangat terbatas karena data arkeologis belum terungkap secara lengkap. Penelitian berupa ekskavasi-ekskavasi baru dilakukan di beberapa tempat di Jawa dan Sulawesi. Dari tempat-tempat lain, bahannya hanya berupa temuan lepas yang berhasil dikumpulkan dari permukaan tanah pada waktu melakukan survei lapangan atau sebagai hasil pembelian dari penduduk. Pengolahan data menjadi sulit karena konteks asli dengan lapisan tanah yang mengandungnya ataupun hubungannya dengan tingkat budaya lain tidak dapat diikuti dengan tepat.

Penelitian di Sulawesi dilakukan di pinggir Sungai Karama di desa-desa Sikendeng, Minanga Sipakka, dan Kalumpang. Penggalian di Sikendeng (sebuah desa yang terletak beberapa kilometer dari muara) dilakukan oleh A.A. Cense dan Stein Callenfels pada tahun 1933.Hasil penggalian tersebut terdiri dari kapak-kapak persegi dan sejumlah kereweng polos (tak berhias). Selanjutnya, pada tanggal 25 September sampai dengan 17 Oktober 1933, Stein Callenfels meneruskan penelitiannva ke arah lulu Sungai Karama (93 km dari muara) di dekat Desa Kalumpang, di atas bukit kecil Kamasi. Stein Callenfels mencatat temuan berupa beberapa buah kapak persegi terupam halus, kereweng-kereweng polos dan dan ada pula yang berhias dalam jumlah cukup banyak, kapak-kapak setengah jadi (calon kapak), sebuah kapak bahu yang masih kasar, fragmen-fragmen gelang batu, mata panah yang terasah, pisau batu atau bilah-bilah pisau batu bertajaman miring yang menunjukkan persamaan dengan temuan di Tembiling (Malaysia), dan beberapa kapak perimbas.

Karena pentingnya penemuan di Kalumpang itu, HR. van Heekeren melakukan penggalian ulang di tempat yang sama pada tahun 1949 (23 Agustus-September 1949). Penggalian dilakukan pada lereng selatan bukit Kamasi, sedangkan Stein Callenfels melakukan penggaliannya di lereng timur. Dalam laporannya Heekeren mengatakan bahwa tempat tersebut telah hancur keadaannya sebagai akibat dari kegiatan pertanian yang berulang-ulang dilakukan oleh penduduk setempat. Lapisan tanah yang mengandung budaya prasejarah telah bercampur aduk dengan yang lainnya. Di sini ia menemukan tempat perpaduan tradisi kapak persegi dengan tradisi kapak lonjong, tetapi masa perkembangan tiap-tiap tradisi tersebut di Kalumpang belum dapat diketahui dengan pasti karena lapisan budaya yang mewakili kedua tradisi tersebut telah bercampur baur." Selain jenis kapak persegi yang umum, di Kalumpang ditemukan pula jenis kapak berbentuk biola dan kapak batu sederhana. Kapak bentuk umum dibuat dari batuan rijang (chert) berwarna kelabu dan hijau, sedangkan kapak biola dari batu sabak. Ekskavasi Heekeren menghasilkan juga mata panah dan mata tombak yang diasah, calon-calon kapak, sebuah pemukul kulit kayu, dan sebuah bendy lambing phallus dari terakota.

Heekeren juga menemukan sebuah situs lain yang cukup kaya akan penemuan prasejarah di Minanga Sipakka (1 km sebelah barat Kalumpang). Dari guguran tebing Sungai Karama di Minanga Sipakka, ia berhasil menemukan kapak-kapak lonjong, calon-calon kapak, sebuah pukul kulit kayu, dan sejumlah kereweng polos dan berhias. Penemuan ini terjadi ketika ia dalam perjalanan pulang dari Kalumpang. Heekeren menduga bahwa temuan-ternuan di Minanga Sipakka ini berasal dari masa yang lebih tua. Namun ternyata jenis kapak persegi tidak ditemukan di tempat ini.

Guna memperoleh keterangan tentang umur temuan-temuan di Kalumpang, W.F. van Beers telah melakukan penelitian geologi. Atas dasar hasil penelitian itu umur Kalumpang ditaksir amat muda, yaitu 1.000 tahun yang lalu. Heekeren menempatkan kira-kira paling sedikit 600 tahun yang lalu dan dianggap sebagai contoh retardasi budaya sebagai akibat dari sikap sosial yang terisolasi rapat dari dunia luar.

Penggalian di Jawa dilakukan oleh Heekeren terhadap sebuah situs Kendenglembu (Banyuwangi) pada tahun 1941. Tempat ini mula-mula ditemukan oleh W. van Wijland dan J. Buurman dalam tahun 1936. Karena hasil penggalian Heekeren serta catatan-catatannya telah lenyap akibat keadaan kacau ketika perang Dunia II, diputuskan untuk melakukan penggalian pada tahun 1969. Penggalian ulang tersebut dilakukan oleh Lembaga Purbakala dan peninggalan Nasional di bawah pimpinan RP. Soejono."

Penggalian tersebut menghasilkan dua lapisan budaya yang batasnya agak jelas. Lapisan pertama (paling atas) mengandung lapisan historis yang temuannya antara lain terdiri dari uang kepeng, fragmen keramik, gerabah-gerabah berhias (dari masa Majapahit), dan pecahan bata. Lapisan kedua (di bawah lapisan pertama) mengandung kapak persegi, kereweng-kereweng polos berwama merah, sejumlah kapak setengah jadi, batu-batu asahan berhias, dan serpih-serpih batu yang pada urnumnya tidak dapat ditemukan sebagai alat. Benda-benda temuan dari lapisan kedua tersebut memberikan petunjuk tentang perbengkelan dan tempat tinggal masyarakat bercocok tanam.

Penyelidikan selanjutnya berupa penelitian lapangan di beberapa daerah penemuan serta penggalian percobaan. Penggalian percobaan pernah dilakukan di Leles (Kabupaten Garth, Jawa Barat) pada tahun 1968, dan di Kelapadua (Cimanggis, Kabupetan Bogor) pada tahun 1971. Leles tidak banyak menghasilkan kapak. Kapak dari Leles hampir semuanya berasal dari temuan-temuan lepas yang ditemukan pada waktu survei. Umur yang lebih menonjol berupa alat-alat obsidian yang menunjukkan banyak persamaan dengan alat-alat obsidian dari Bandung.


Lokasi temuan kapak persegi di DKI Jaya antara lain: di Kampung Kramat, Kelurahan Cililitan, Kecamatan Kramat Jati; yang diteliti oleh tim Teguh Asmar, Dirman Surachmat, dan Made Sutavasa, pada tahun 1968. Penelitian ini kemudian dilakukan lagi pada tahun 1971, 1977, 1979, 1980, dan 1982. Temuan berupa kereweng, fragmen, kapak, serpih, batu asap, dan kapak persegi berjumlah 4 buah. Situs pejaten, Kelurahan Pejaten Kecamatan Pasar Minggu. Situs ini digali oleh Dinas Museum DKI pada tahun 1973 dan 1974. Hasil temuan berupa kereweng, fragmen dan kapak persegi utuh, fragmen cetakan kapak dari tanah liat yang dibakar, gelang dan cincin perunggu, fragmen alat besi, terak besi, dan bulatan dari tanah liat, fragmen cawan berkaki, batu asahan, dan serpih.

Situs Condet, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, diteliti oleh Dinas Museum DKI tahun 1976, 1977, 1979, dan 1980. Temuan berupa kereweng, batu asahan, serpih, fragmen kapak persegi, fragmen logam,dan bulatan tanah. Tanning Barat, Kelurahan Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, diteliti tahun 1983 oleh Dinas Museum DKI. Flash temuan berupa kereweng, serpih batu asahan, cetakan dari tanah liat, terak besi, moluska, dan sisa tulang binatang. Pondok Cina, Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Depok. Penelitian dilakukan oleh Dinas Museum tahun 1984. Hasil temuan berupa serpih, dari penduduk diperoleh 5 buah kapak persegi.

Tempat penemuan di Klapadua yang terletak di tepi sungai Ciliwung ternyata telah hancur karena erosi dan akibat kegiatan pertanian oleh penduduk. Sisa-sisanya hanya sedikit yang ditemukan dalam ekskavasi. Sebagian besar benda temuan berasal dari permukaan tanah. Walaupun demikian, dapatlah dipastikan bahwa Klapadua pernah didiami manusia. Pecahan kapak ditemukan berserakan di permukaan tanah. Batu-batu asahan dan pecahan gerabah tak berthas ditemukan di permukaan tanah sampai ke tepi sungai. Tempat ini diduga sebagai perbengkelan dan tempat tinggal yang menghasilkan kapak-kapak. Ini yang terjadi di tempat¬-tempat lain di Jawa Barat, seperti di Purwakarta, Tasikmalaya, dan di sekitar Bogor.

Daerah pantai utara Jawa Barat, yang memanjang dari Tangerang hingga Rengasdengklok juga menghasilkan banyak kapak persegi. Koleksi dari daerah ini umumnya merupakan basil pembelian dari penduduk yang melakukan penggalian liar atau menemukan secara kebetulan ketika mengerjakan sawah, jalan desa, atau kebun.Tempat-tempat temuan di pantai Rengasdengklok terletak di sepanjang daerah aliran sungai Bekasi, Citarum, Ciherang, dan Ciparage. Unsur-unsur dari masa yang lebih muda lebih banyak memperlihatkan pengaruhnya di tempat-tempat tersebut dan kemudian mempengaruhi daerah pedalaman melalui keempat sungai tersebut.

Situs Pasir Angin, Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulan, Kabupaten Bogor diteliti sejak tahun 1971-1975, dan 1991-1995 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Temuan beragam berupa artefak logam, artefak batu, manik-manik, dan kapak persegi, fauna, arang, dan sebagainya."

Situs Panumbangan, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, tahun 1954 Erdbrink pernah melakukan penelitian di wilayah ini dan menemukan panah, serpih, dan bor. Pada tahun 2000 dan 2003 tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di wilayah ini. Hasil temuan berupa serpih, colon kapak persegi, oleh penduduk ditemukan beberapa kapak persegi. Situs Cipari, Kelurahan Cipari, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, diteliti oleh T. Asmar tahun 1972-1978.Hasil temuannya berupa peti kubur batu, artefak logam, gerabah, gelang batu, dan kapak persegi. Situs Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, diteliti oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1981-1983. Hasil temuannya berupa kapak persegi, calon kapak persegi, alat serpih, batu pukul, dan batu asah.

Tipar Ponjen, Kelurahan Ponjen, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga, diteliti tahun 1984. Hasilnya berupa bahan gelang batu, fragmen gelang batu, fragmen calon kapak persegi, kapak persegi, batu asah, tatal batu, dan batuan." Situs Ngerijangan, Desa Sooka, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, sejak awal abad ke-19 telah diteliti oleh para ahli, antara lain, Koeningswald, Marks, Flathe dan Pfeiffer, Verstappen, Balasz, Sartono, Soejono, Tweedie, Movius, Heekeren, dan Barstra. Penelitian terutama dilakukan di situs Padangan, Ngerijang, Sengon, dan Ngerijangan. Ratusan pecahan rijang sebagai produk buangan pembuatan kapak persegi dan mata panah ditemukan tersebar. Temuan utama dari situs ini adalah kapak persegi, calon kapak, mata panah, calon mata panah, dan serpih.

Bentuk dan jenis
Berbicara mengenai sebuah peralatan, tentunya kita tidak akan terlepas dari yang namanya sebuah bentuk dasar, ada beberapa variasi yang kita kenal dari kapak persegi. Variasi yang paling umum ialah "belincung", yaitu kapak punggung tinggi, karena bentuk punggung tersebut penampang lintang berbentuk segitiga, segi lima, atau setengah lingkaran. Belincung dan kapak pada umumnya dibuat dari jenis batuan setengah permata dan tergolong benda yang terindah dalam perbendaharaan kapak-kapak batu di dunia. Variasi ini biasanya ditemukan di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali. Belincung ditemukan pula di Semenanjung Malaya dan istilah yang digunakan untuk jenis benda ini ialah kapak paruh. Jenis kapak yang berpenampang lintang setengah lingkaran dengan garis dasar lebih kurang cekung itu oleh Heekeren digolongkan sebagai jenis "kapak perisai", karena bentuknya menyerupai perisai lonjong. Jenis kapak ini terutama ditemukan di Jawa dan luar Indonesia. Bentuk semacam ini juga terdapat pula di Polinesia Timur. Variasi-variasi lain telah ditemukan di kepulauan Indonesia sebagai temuan-temuan lepas dan jumlahnya tidak begitu banyak.

Sudah dikatakan bahwa variasi yang paling umum dari kapak persegi adalah kapak yang ditemukan di Jawa, Sumatra, dan Bali. Selain itu, ada pula variasi-variasi lain seperti kapak bahu, kapak tangga, kapak atap, kapak bentuk biola, dan kapak penarah. Bentuk-bentuk variasi ini ditemukan di beberapa daerah saja dan jumlahnya pun sangat terbatas. Tempat-tempat penemuannya terutama di daerah utara dan daerah timur kepulauan Indonesia. Variasi-variasi kapak persegi merupakan instruksi dari luar dan bentuk-bentuknya menunjukkan persamaan dengan bentuk-bentuk di daerah luar Indonesia yang menyebar dari Cina melalui kepulauan-kepulauan di utara Indonesia ke arah Polinesia Timur. Variasi-variasi yang khas tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Kapak bahu sederhana. Jenis ini khusus ditemukan di Kalumpang. Tangkainya dipersiapkan secara kasar dan tidak rapi, serta tidak sesimetris seperti pada tangkai kapak bahu yang umum tersebar di daratan Asia. Pengupaman dilakukan pada sebagian permukaan alat, terutama pada bagian tajaman. Jenis kapak sederhana ini juga ditemukan di Cina (Sechwan, Kwantung), Jepang, Taiwan, dan Filipina (Botel Tobago).

Kapak tangga hanya beberapa buah ditemukan di Sulawesi, tetapi di luar Indonesia jenis ini tersebar di Cina Selatan, pantai timur daratan Asia Tenggara, Taiwan, dan Filipina. Bagian pangkal pada permukaan alas alat dibuat lebih rendah, seakan-akan merupakan tangga turun setingkat, guna memperkukuh ikatan pada tangkai. Sebuah bentuk lain yang sangat jarang dan juga ditemukan di Sulawesi adalah kapak gigir. Sebuah gigir yang sejajar dengan garis lebar pangkal kapak dibuat di permukaan atas dengan cara memukul-mukul batu sampai tercapai bentuk gigiran tersebut. Variasi semacam ini telah ditemukan di pulau-pulau Taiwan, Hoifu (Hong Kong), Luzon, dan Selandia Baru.

Kapak atap tersebar di Jawa Timur, Bali, dan kepulauan Maluku. Di luar Indonesia jenisnya dijumpai di Polinesia Timur. Alat ini tebal dengan kedua sisi sampingnya miring ke arah permukaan bawah sehingga membentuk penampang lintang berbentuk trapesium.

Kapak biola ditemukan hanya di Kalumpang bersama-sama dengan kapak batu sederhana. Kedua sisi sampingnya cekung sehingga alatnya menyerupai biola. Bentuk penampang lintangnya agak lonjong. Pengupaman dilakukan sekadarnya pada permukaan alat, khususnya pada tajaman. Jenis alat ini terdapat juga di Jepang, Taiwan, dan Botel Tobago.

Kapak penarah. Bentuk alat ini panjang dengan penampang lintang persegi empat yang sisi-sisinya cembung atau penampang lintangnya hampir bundar, tajamannya cekung di bawah. Jenis kapak ini umumnya berukuran besar dan hanya beberapa berukuran kecil. Yang berukuran besar mungkin digunakan untuk menarah batang pohon guna membuat sampan. Alat ini ditemukan di Jawa Timur dan Bali. Jenis alat ini terdapat pula di Selandia Baru dan di Polinesia Timur.

Beberapa variasi lain yang menarik adalah kapak batu yang berbentuk khusus dan kapak persegi yang menerima pengaruh dari bentuk kapak perunggu. Kapak bahu yang berbentuk khusus itu mempunyai gagang yang panjang, bahu cekung, mata kapak yang pendek, dan tajaman yang berpinggiran cembung serta miring. Sebuah dari variasi ini ditemukan di daerah Bogor (Jawa Barat), yang berwarna cokelat kekuningan dan sebuah lain lagi ditemukan di Kalumpang, yang berwarna kehitaman. Kapak yang menerima pengaruh bentuk kapak perunggu memperlihatkan tajaman yang melebar, melebihi ukuran leher kapaknya sendiri. Variasi ini ditemukan terbatas di Jawa Barat (sekitar Tangerang dan Jakarta) dan di Jawa Tengah (Gunung Kidul).

Dari temuan-temuan lepas dapat diketahui persebaran kapak persegi, termasuk bentuk-bentuk variasinya di Sumatra (Bengkulu, Palembang, Lampung), Jawa (Banten, Bogor, Cibadak, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Semarang, Kedu, Yogyakarta, Wonogiri, Punung, Surabaya, Madura, Malang, Besuki), Kalimantan, Sulawesi, Bali, Solor, Adonara, Ternate, Maluku, dan Sangihe Talaud. Di antara tempat-tempat tersebut ada yang dapat diperkirakan sebagai bengkel-bengkel kapak persegi seperti di desa Bungamas, Palembang (antara Lahat-Tebing Tinggi), di Karangnunggal (Tasikmalaya), di desa Pasir Kuda (Bogor), di daerah pegunungan Karangbolong dekat Karanganyar (Jawa Tengah), dan di Punung dekat Pacitan (Jawa Timur).

Kalau kita ikuti daerah penemuan kapak-kapak tersebut, dapat dikatakan bahwa jenis-jenis kapak persegi berkembang luas di Kepulauan Indonesia, terutama di daerah kepulauan bagian barat. Suatu hal yang harus kita ingat ialah bahwa kapak-kapak persegi telah dibuat sendiri di beberapa tempat yang daerahnya menyediakan bahan mentah. Punggung kapak pada umumnya memperlihatkan perimping-perimping dan patahan-patahan pada tajaman yang membuktikan penggunaan secara intensif. Kapak-kapak yang ditemukan dalam keadaan utuh diduga mempunyai fungsi magis atau digunakan sebagai benda tukar dalam sistem perdagangan sederhana.

Pemasangan pada tangkai

Apabila pada zaman paleolitikum penggunaan kapak dari batu ini langsung dipenggang dengan menggunakan tangan, tampa menggunakan alat lain. Lain halnya dengan zaman neolitikum, mereka pada masa itu sudah mengenal tangkai sebagai bahan yang digunakan untuk mengikat kapak dan digunakan sebagai pegangan. Cara memasangkan mata kapak pada tangkai ialah dengan memasukkan bendanya langsung dalam lubang yang khusus dibuat pada ujung tangkai atau memasangkan mata kapak pada gagang tambahan yang kemudian diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Pada kedua cara ini, mata kapak dipasangkan vertikal.

Penambahan alat dalam menggunakan kapak dari batu ini merupakan sebuah inovasi yang mampu dikembangkan oleh manusia pada zaman prasejarah. Mereka terus berinovasi untuk menghasilkan yang lebih baik dan efisien, termasuk kenyamanan dalam menggunakannya. Tangkai kapak atau gagang kemungkinan berbahan dasar dari kayu dan sejenisnya. Kayu-kayu tersebut mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk memasang mata kapak atau kapak persegi dan mudah dalam memegangnya.

artikel ini di ambil dari http://www.wacananusantara.org/content/view/category/2/id/564?mycustomsessionname=10ba026f1c28ef123ed8b50aaac1ddd5
Read More..

Jumat, 30 April 2010

Plastik Biodegradable

Hampir setiap hari kita membutuhkan plastik untuk berbagai hal, yakni sebagai pembungkus makanan, alas makan dan minum, untuk keperluan sekolah, kantor, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan plastik memiliki sifat unggul seperti ringan tetapi kuat, transparan, tahan air serta harganya relatif murah dan terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.


Namun, plastik yang beredar di pasaran saat ini merupakan polimer sintetik yang terbuat dari minyak bumi yang sulit untuk terurai di alam. Akibatnya semakin banyak yang menggunakan plastik, akan semakin meningkat pula pencemaran lingkungan seperti penurunan kualitas air dan tanah menjadi tidak subur.

Untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya plastik, saat ini telah dikembangkan plastik biodegradable, artinya plastik ini dapat duraikan kembali mikroorganisme secara alami menjadi senyawa yang ramah lingkungan. Biasanya plastik konvensional berbahan dasar petroleum, gas alam, atau batu bara. Sementara plastik biodegradable terbuat dari material yang dapat diperbaharui, yaitu dari senyawa-senyawa yang terdapat dalam tanaman misalnya selulosa, kolagen, kasein,
protein atau lipid yang terdapat dalam hewan.

Jenis plastik biodegradable antara lain polyhidroksialkanoat (PHA) dan poli-asam amino yang berasal dari sel bakteri, polylaktida (PLA) yang merupakan modifikasi asam laktat hasil perubahan zat tepung kentang atau jagung oleh mikroorganisme, dan poliaspartat sintesis yang dapat terdegradasi. Bahan dasar plastik berasal dari selulosa bakteri, kitin, kitosan, atau tepung yang terkandung dalam tumbuhan, serta beberapa material plastik atau polimer lain yang terdapat di sel tumbuhan dan hewan.

Plastik biodegradable berbahan dasar tepung dapat didegradasi bakteri pseudomonas dan bacillus memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya . Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan.

Plastik berbahan dasar tepung aman bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan waktu sekira 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plastik biodegradable dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat.

Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradable yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah.

Sampai saat ini masih diteliti berapa cepat atau berapa banyak polimer biodegradable ini dapat diuraikan alam. Di samping itu, penambahan tepung pada pembuatan polimer biodegradable menambah biaya pembuatan plastik.

Namun ini menjadi potensi yang besar di Indonesia, karena terdapat berbagai tanaman penghasil tepung seperti singkong, beras, kentang, dan tanaman lainnya. Apalagi harga umbi-umbian di Indonesia relatif rendah. Dengan memanfaatkan sebagai bahan plastik biodegradable, akan memberi nilai tambah ekonomi yang tinggi. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan. Bukan tidak mungkin kelak Indonesia menjadi produsen terbesar plastik biodegradable di dunia.

Jerman, India, Australia, Jepang, dan Amerika adalah negara yang paling intensif mengembangkan riset plastik biodegradable dan mempromosikan penggunaannya menggantikan plastik konvensional. Produk industri berbahan dasar plastik mulai menggunakan bahan biodegradable. Fujitsu, perusahaan komputer besar di Jepang telah menggunakan plastik biodegradable ini pada semua casing produknya. Komunitas internasional sepakat, penggunaan bahan polimer sintetis yang ramah lingkungan harus terus ditingkatkan.

Sementara itu, penggunaan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Padahal sudah jelas potensi bahan baku pembuatan plastik biodegradable sangat besar di Indonesia. Tampaknya perlu dukungan dari semua pihak terutama pemerintah selaku regulator, industri kimia dan proses, serta kesadaran dari seluruh masyarakat. Harus ada kerja sama diantara banyak pihak untuk mendukung penerapan plastik biodegradable menggantikan plastik konvensional.

Penggunaan skala besar plastik berbahan biodegradable ini akan membantu mengurangi penggunaan minyak bumi, gas alam dan sumber mineral lain serta turut berkontribusi menyelamatkan lingkungan.
Read More..

Senin, 12 April 2010

Penyerbukan Dan Pembuahan

Penyerbukan dapat terjadi dengan berbagai perantara :a. Perantara angin disebut anemogami, dapat terjadi bila butir serbuknya amat ringan, kecil dan kering.
Contoh : pada pinus, damar, rumput-rumputan.
b. Perantara air disebut hidrogami.
Contoh : pada tanaman air.
c. Perantara hewan disebut zoogami.
Bila serangga Þ entomogami
burung Þ ornitogami
siput Þ malakogami
kelelawar Þ kiroptorogami
d. Perantara manusia disebut antropogami.
Contoh : penyerbukan vanilli di Indonesia.


Menurut asal serbuk sari, penyerbukan dibedakan menjadi 4 : a. Autogami (penyerbukan sendiri)
Serbuk sarinya berasal dari satu bunga yang sama. Bila terjadi pada saat bunga belum mekar disebut kleistogami.
b. Geitonogami (penyerbukan tetangga)
Bila serbuk sari berasal dari bunga lain yang berada dalam satu pohon (satu individu).
c. Alogami (penyerbukan silang)
Bila serbuk sari berasal dari bunga pohon lain yang masih satu spesies.



Kadang-kadang terjadi kegagalan penyerbukan dan pada beberapa jenis tumbuhan tidak mungkin terjadi autogami. Penyebabnya adalah sebagai berikut :a. Dikogami : Bila waktu masaknya putik dan serbuk sari tidak bersamaan, hal ini disebabkan karena:
1. Serbuk sari masak lebih dahulu daripada putiknya ....(protandri).
....Contoh : seledri, bawang Bombay, jagung
2. Putik masak lebih dahulu daripada serbuk sari ....(protogini).
b. Didesious : Bila pada satu spesies, alat kelamin jantan dan betinanya terpisah
Contoh : salak dan melinjo (Gnetum Arremon)
c. Heterostili : Bila panjang antara tangkai benang sari dan tangkai putik tidak sama dan berbeda jauh.
Contoh : kopi, kina dan kaca piring.
d. Herkogami : Bila bentuk bunga tidak memungkinkan serbuk sari jatuh ke kepala putik.
Contoh : vanili



Proses Penyerbukan dan Pembuahan

Butir serbuk/serbuk sari Þ menempel pada kepala putik Þ membentuk buluh serbuk (2 inti, inti vegetatif dan inti generatif) berjalan ke arah mikropil (pintu kandung lembaga) Þ inti generatif membelah Þ 2 inti sperma Þ sampai di mikropil, inti vegetatif mati Þ satu inti sperma membuahi sel telur Þ embrio. Satu inti sperma lain membuahi inti kandung lembaga Þ endosperma (makanan cadangan bagi embrio).

Karena pembuahannya berlangsung dua kali maka pembuahan pada Angiospermae disebut pembuahan ganda.

Embrio pada tumbuhan berbiji tertentu dapat terbentuk karena beberapa sebab. yaitu :1. Melalui peleburan sperma dan ovum (amfimiksis)
2.
Tidak melalui peleburan sperma dan ovum (apomiksis), yang dapat dibedakan atas:a. Apogami : embrio yang terbentuk berasal dari kandung lembaga. Misalnya : dari sinergid dan antipoda.
b.Partenogenesis : embrio terbentuk dari sel telur yang tidak dibuahi.
c. Embrio adventif : merupakan embrio yang terbentuk dari sel nuselus, yaitu bagian selain kandung lembaga.





Apomiksis dan amfimiksis dapat terjadi bersamaan, maka akan terbentuk lebih dari satu embrio dalam satu biji, disebut poliembrioni. Peristiwa ini sering dijumpai pada nangka, jeruk dan mangga.
Read More..

Sel saraf

Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk bervariasi. Sistern ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Dalam kegiatannya, saraf mempunyai hubungan kerja seperti mata rantai (berurutan) antara reseptor dan efektor. Reseptor adalah satu atau sekelompok sel saraf dan sel lainnya yang berfungsi mengenali rangsangan tertentu yang berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Efektor adalah sel atau organ yang menghasilkan tanggapan terhadap rangsangan. Contohnya otot dan kelenjar.

SEL SARAF

Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf (neuron). Fungsi sel saraf adalah mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsang atau tanggapan.

Struktur Sel Saraf
Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya terdapat sitoplasma dan inti sel. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson (neurit).

Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke jaringan lain. Akson biasanya sangat panjang. Sebaliknya, dendrit pendek.

Setiap neuron hanya mempunyai satu akson dan minimal satu dendrit. Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel. Pada bagian luar akson terdapat lapisan lemak disebut mielin yang merupakan kumpulan sel Schwann yang menempel pada akson. Sel Schwann adalah sel glia yang membentuk selubung lemak di seluruh serabut saraf mielin. Membran plasma sel Schwann disebut neurilemma. Fungsi mielin adalah melindungi akson dan memberi nutrisi. Bagian dari akson yang tidak terbungkus mielin disebut nodus Ranvier, yang berfungsi mempercepat penghantaran impuls.

Berdasarkan struktur dan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu sel saraf sensori, sel saraf motor, dan sel saraf intermediet (asosiasi).1.
Sel saraf sensori

Fungsi sel saraf sensori adalah menghantar impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum belakang (medula spinalis). Ujung akson dari saraf sensori berhubungan dengan saraf asosiasi (intermediet).
2.
Sel saraf motor

Fungsi sel saraf motor adalah mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke otot atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap rangsangan. Badan sel saraf motor berada di sistem saraf pusat. Dendritnya sangat pendek berhubungan dengan akson saraf asosiasi, sedangkan aksonnya dapat sangat panjang.
3.
Sel saraf intermediet

Sel saraf intermediet disebut juga sel saraf asosiasi. Sel ini dapat ditemukan di dalam sistem saraf pusat dan berfungsi menghubungkan sel saraf motor dengan sel saraf sensori atau berhubungan dengan sel saraf lainnya yang ada di dalam sistem saraf pusat. Sel saraf intermediet menerima impuls dari reseptor sensori atau sel saraf asosiasi lainnya.


Kelompok-kelompok serabut saraf, akson dan dendrit bergabung dalam satu selubung dan membentuk urat saraf. Sedangkan badan sel saraf berkumpul membentuk ganglion atau simpul saraf.
Read More..

Keanekaragaman hayati

Keanekaragaman hayati atau biodiversitas (Bahasa Inggris: biodiversity) adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan menurut skala organisasi biologisnya, yaitu mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme serta ekosistem dan proses-proses ekologi dimana bentuk kehidupan ini merupakan bagiannya. Dapat juga diartikan sebagai kondisi keanekaragaman bentuk kehidupan dalam ekosistem atau bioma tertentu. Keanekaragaman hayati seringkali digunakan sebagai ukuran kesehatan sistem biologis.

Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata di bumi; wilayah tropis memiliki keanekaragaman hayati yang lebih kaya, dan jumlah keanekaragaman hayati terus menurun jika semakin jauh dari ekuator.

Keanekaragaman hayati yang ditemukan di bumi adalah hasil dari miliaran tahun proses evolusi. Asal muasal kehidupan belum diketahui secara pasti dalam sains. Hingga sekitar 600 juta tahun yang lalu, kehidupan di bumi hanya berupa archaea, bakteri, protozoa, dan organisme uniseluler lainnya sebelum organisme multiseluler muncul dan menyebabkan ledakan keanekaragaman hayati yang begitu cepat, namun secara periodik dan eventual juga terjadi kepunahan secara besar-besaran akibat aktivitas bumi, iklim, dan luar angkasa.


Jenis keanekaragaman hayati

* Keanekaragaman genetik (genetic diversity); Jumlah total informasi genetik yang terkandung di dalam individu tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang mendiami bumi.
* Keanekaragaman spesies (species diversity); Keaneraragaman organisme hidup di bumi (diperkirakan berjumlah 5 - 50 juta), hanya 1,4 juta yang baru dipelajari.
* Keanekaragaman ekosistem (ecosystem diversity); Keanekaragaman habitat, komunitas biotik dan proses ekologi di biosfer atau dunia laut.
Read More..